Rabu, 06 Juli 2011

Akulturasi Dalam Baju Koko




Baju Muslim - Selama Ramadhan, baju koko seolah menjadi busana ”wajib” bagi umat Muslim Indonesia. Sebenarnya, pakaian ini berasal dari China, yg kemudian diadaptasi sebagai busana muslim. Bagaimana ceritanya?

Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat, mungkin dapat mewakili booming baju koko. Selama Ramadhan, baju koko bak primadona yg diburu ribuan pengunjung yg memadati pusat perdagangan tekstil itu.

Tampilan baju koko cukup khas: atasan longgar, lengan panjang, tanpa kerah, dgn beberapa variasi sekitar leher atau hiasan di bagian dada. Kini muncul pula berbagai variasi, yg sebagian mengacu pada tokoh-tokoh terkenal. Ada baju koko model SBY, Ridho Roma, Pasha ”Ungu”, atau Ustaz Jeffry Al Buchori alias Uje.

Sejarah Dibalik Baju Koko
Di balik booming baju koko, ada sejarah akulturasi yg menarik. Peneliti sejarah JJ Rizal mengungkapkan, baju koko merupakan modifikasi baju sehari-hari lelaki Tionghoa peranakan abad ke-19 yg disebut tui-khim. Masyarakat Tionghoa biasa memadunya dgn celana komprang. ”Karena nyaman dan sopan, baju ini kemudian populer sebagai baju santai utk semua orang,” katanya.

Ahli sejarah dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Arif Akhyat, menunjukkan foto-foto tua yg memperlihatkan baju koko dipakai kaum Muslim Tionghoa sejak tahun 1875.

Lebih dari sekadar gaya pakaian, baju koko mencerminkan perjuangan Muslim Tionghoa dalam membentuk identitasnya sebagai Tionghoa sekaligus pemeluk Islam. Saat itu, Belanda mencegah mereka memeluk Islam karena tak ingin ada kedekatan antara Tionghoa dan Muslim pribumi. Kedekatan ini dikhawatirkan bisa memicu perlawanan.

Jadi, baju koko dikenakan utk menyiasati politik divide et impera Belanda. ”Utk menghindari kecurigaan Belanda, Muslim Tionghoa memakai baju itu setiap kali ke masjid. Dgn begitu, mereka mempertahankan identitas Tionghoa sekaligus menyesuaikan dgn Islam,”

Sumber: kompas.com

Info Terkait:

0 komentar :