Permasalahan Pemenuhan Modal Minimum Asuransi
Keluarnya PP No. 39/2008 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah No. 73 tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian ditanggapi tak nyaman oleh sebagian pelaku asuransi. Perusahaan asuransi bermodal kecil khawatir tidak mampu memenuhi aturan modal minimum dalam tenggat waktu yang diberikan.
PP yang ditandatangani Presiden pada 23 Mei 2008 tersebut mensyaratkan modal sendiri perusahaan asuransi sebesar Rp 100 miliar dan perusahaan reasuransi Rp 200 miliar di akhir tahun 2010. Sedangkan modal sendiri asuransi syariah sebesar Rp 50 miliar dan pialang asuransi/reasuransi Rp 1 miliar, harus bisa dipenuhi pada akhir tahun ini.
Modal sendiri minimum perusahaan asuransi dan reasuransi dilakukan pentahapan. Akhir tahun 2008, modal sendiri perusahaan asuransi Rp 40 miliar dan reasuransi Rp 100 miliar. Sedangkan di akhir tahun 2009, masing-masing besarnya Rp 70 miliar dan Rp 150 miliar.
Naiknya modal ini diharapkan bakal mengurangi defisit neraca pembayaran asuransi dengan luar negeri. Tiap tahun, premi yang disetor ke perusahaan reasuransi luar negeri lebih besar daripada pembayaran klaim yang diterima perusahaan asuransi/reasuransi Indonesia. Tahun 2006, Indonesia defisit sebesar Rp 3,82 triliun atau naik sebesar atau naik 5 persen dari tahun sebelumnya senilai Rp 2,68 trilun.
Banyaknya premi ke luar negeri disebabkan rendahnya kemampuan meretensi risiko industri asuransi di dalam negeri. Salah satu pemicunya adalah kemampuan modal perusahaan asuransi dan reasuransi yang tidak besar.
Solusi Alternatif
Aturan regulator sudah keluar. Perlu jalan keluar bagi pemegang saham yang tidak mampu menambah modal. Beberapa alternatif antara lain menarik investor baru, merger, menjual atau konversi ke asuransi syariah. Alternatif ini memang tidak gampang dilaksanakan, tetapi harus ada jalan keluar.
Menarik investor baru untuk menyuntikkan dananya ke perusahaan asuransi memang tidak mudah. Investor akan berhitung seberapa besar dan cepat pengembaliannya. Di industri asuransi umum, menggaet investor baru mungkin lebih sulit karena investor lebih gamang menimbang persaingan tarif yang sangat ketat. Seolah-olah persaingan sudah sampai pada hukum rimba hingga menunggu siapa yang bakal tumbang.
Sedangkan alternatif merger memang tidak segampang yang dibayangkan. Dulu kesulitan merger lebih banyak ditopang oleh keengganan pemilik saham karena ingin tetap menjadi penentu di perusahaan yang dimilikinya.
Bagi perusahaan-perusahaan asuransi yang dimiliki oleh pemegang saham yang sama atau dalam satu grup, merger relatif lebih mudah dilaksanakan. Saat ini beberapa asuransi kecil dimiliki oleh pemegang saham yang juga punya saham di perusahaan asuransi lain. Demikian juga, beberapa perusahaan asuransi yang mempunyai anak perusahaan asuransi, lebih mudah menyatukannya.
Bagi yang sulit dengan kedua alternatif di atas, bisa menjual perusahaannya atau untuk diakuisisi perusahaan asuransi lain. Ada perusahaan kecil tapi ‘seksi’, yang mempunyai daya tarik untuk diakuisisi. Perusahaan dengan pasar captive atau kinerjanya yang terus-menerus bagus, tentu lebih mudah dijual.
sumber : http://infoasuransi.com/index.php?option=com_content&task=view&id=146&Itemid=1
0 komentar :
Posting Komentar